Rabu, 11 Agustus 2010

Bahan Tambahan Pangan (Food Additive)


Pengertian
Food Additive atau Bahan Tambahan Pangan (BTP) adalah bahan atau campuran bahan yang secara alami bukan merupakan bagian dari bahan baku pangan, tetapi ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan, antara lain bahan pewarna, pengawet, penyedap rasa, anti gumpal, pemucat, dan pengental.

Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 272/Menkes/Per/IX/88 dijelaskan bahwa Bahan Tambahan Pangan adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan ingredien khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk maksud teknologi pada pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan,  pengemasan, penyimpanan atau pengangkutan makanan untuk menghasilkan atau diharapkan menghasilkan suatu komponen atau mempengaruhi sifat khas makanan tersebut.

Mengapa BTP Sering Ditambahkan ke Dalam Pangan?
BTP adalah bahan yang tidak dikonsumsi langsung sebagai makanan dan tidak merupakan bahan baku pangan, dan penambahannya ke dalam pangan ditujukan untuk mengubah sifat-sifat makanan seperti bentuk, tekstur, warna, rasa, keken­talan, dan aroma, untuk mengawetkan, atau untuk mempermudah proses pengolahan.

Secara khusus kegunaan BTP di dalam pangan adalah untuk:
1. Mengawetkan pangan dengan mencegah pertumbuhan mikro­ba perusak pangan atau mencegah terjadinya reaksi kimia yang dapat menurunkan mutu pangan.
2. Membentuk makanan menjadi lebih baik, renyah, dan lebih enak di mulut.
3. Memberikan warna dan aroma yang lebih menarik sehingga menambah selera.
4. Meningkatkan kualitas pangan.
5. Menghemat biaya.

Penggolongkan Bahan Tambahan Pangan (BTP)

BTP dikelompokkan berdasarkan tujuan penggunaannya di dalam pangan. Pengelompokan BTP yang diizinkan digunakan pada makanan menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/IX/88 adalah sebagai berikut:
l .       Pewarna, yaitu BTP yang dapat memperbaiki atau memberi warna pada makanan.
2. Pemanis buatan, yaitu BTP yang dapat menyebabkan rasa manis pada makanan, yang tidak atau hampir tidak mempunyai nilai gizi.
3. Pengawet, yaitu BTP yang dapat mencegah atau menghambat fermentasi, pengasaman atau peruraian lain pada makanan yang disebabkan oleh pertumbuhan mikroba.
4. Antioksidan, yaitu BTP yang dapat mencegah atau menghambat proses oksidasi lemak sehingga mencegah terjadinya ketengikan.
5. Antikempal, yaitu BTP yang dapat mencegah mengempal­nya (menggumpalnya) makanan yang berupa serbuk seperti tepung atau bubuk.
6. Penyedap rasa dan aroma, penguat rasa, yaitu BTP yang dapat memberikan, menambah atau mempertegas rasa dan aroma.
7. Pengatur keasaman (pengasam, penetral, dan pendapar), yaitu BTP yang dapat mengasamkan, menetralkan, dan mempertahankan derajat keqsaman makanan.
8. Pemutih dan pematang tepung, yaitu BTP yang dapat mempercepat proses pemutihan dan atau pematang tepung sehingga dapat memperbaiki mutu pemanggangan.
9. Pengemulsi, pemantap dan pengental, yaitu BTP yang dapat membantu terbentuknya dan memantapkan sistem dispersi yang homogen pada makanan.
10. Pengeras, yaitu BTP yang dapat memperkeras atau mence­gah melunaknya makanan.
11. Sekuestran, yaitu BTP yang dapat mengikat ion logam yang ada dalam makanan, sehingga memantapkan warna, aroma, dan tekstur.

Selain BTP yang tercantum dalam Peraturan Menteri tersebut, masih ada beberapa BTP lainnya yang biasa digunakan dalam makanan, misalnya:
l.        Enzim, yaitu BTP yang berasal dari hewan, tanaman atau mikroba, yang dapat menguraikan secara enzimatis, misalnya membuat makanan menjadi lebih empuk, lebih larut, dan lain-lain.
2.   Penambah gizi, yaitu bahan tambahan berupa asam amino, mineral atau vitamin, baik tunggal maupun campuran, yang dapat meningkatkan nilai gizi makanan.
3.   Humektan, yaitu BTP yang dapat menyerap lembab (uap air) sehingga mempertahankan kadar air dan makanan.

Sifat, Kegunaan dan Keamanan BTP

Dari beragam jenis BTP seperti yang telah disebutkan di atas, sebenarnya hanya beberapa yang penggunaannya pada makanan lebih sering dibandingkan dengan BTP lainnya. Oleh karena itu sifat dan keamanan BTP yang sering digunakan tersebut akan dijelaskan di bawah ini.

Pewarna
Penambahan bahan pewarna pada makanan dilakukan untuk beberapa tujuan, yaitu:
• Memberi kesan menarik bagi konsumen
• Menyeragamkan warna makanan
• Menstabilkan warna
• Menutupi perubahan warna selama proses pengolahan
• Mengatasi pembahan warna selama penyimpanan.

Penggunaan pewarna yang aman pada makanan telah diatur mela­lui peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/IX/88, yang mengatur mengenai pewarna yang dilarang digunakan dalam makanan, pewarna yang diizinkan serta batas penggunaannya, termasuk penggunaan bahan pewarna alami. Akan tetapi masih banyak produsen makanan, tenrtama pengusaha kecil, yang menggunakan bahan-bahan pewarna yang dilarang dan berbahaya bagi kesehatan, misalnya pewarna untuk tekstil atau cat. Hal ini disebabkan pewarna tekstil atau cat umumnya mempunyai warna lebih cerah, lebih stabil selama penyimpanan, serta harganya lebih murah, dan produsen pangan belum mengetahui dan menyadari bahaya dari pewarna-pewarna tersebut.

Beberapa pewarna terlarang dan berbahaya yang sering ditemukan pada makanan, terutama makanan jajanan, adalah Metannil Yellow (kuning metanil) yang berwarna kuning, dan Rhodamin B yang berwarna merah. Bahan pewarna kuning dan merah tersebut sering digunakan dalam pembuatan berbagai macam makanan seperti sirup, kue-kue, agar, tahu, pisang dan tahu goreng, dan lain-lain. Kedua pewarna ini telah dibuktikan menyebabkan kanker yang gejalanya tidak dapat terlihat langsung setelah mengkonsumsi, oleh karena itu dilarang digunakan di dalam makanan walaupun dalam jumlah sedikit

Alternatif lain untuk menggantikan penggunaan pewarna sintetis adalah dengan menggunakan pewarna alami seperti ekstrak daun pandan atau daun suji, kunyit, dan ekstrak buah-buahan yang pada umumnya lebih aman. Akan tetapi penggunaan bahan pewarna alami juga ada batasannya sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan. Beberapa pewarna alami yang diizinkan digunakan dalam makanan menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/IX/88 diantaranya adalah:

Karamel, yaitu pewarna alami berwarna coklat yang dapat digunakan untuk mewarnai jem/jeli (200 mg/kg), acar ketimun dalam botol (300 mg/kg, dan yogurt beraroma (I50 mg/kg).
Beta-karoten, yaitu pewarna alami berwarna merah-oranye yang dapat digunakan untuk mewarnai acar ketimun dalam botol (300 mg/kg), es krim (100 mg/kg), keju (600 mg/kg), dan lemak dan minyak makan (secukupnya).
Klorofil, yaitu pewarna alami berwarna hijau yang dapat digunakan untuk mewarnai jem/jeli (200 mg/kg) atau keju (secukupnya).
Kurkumin, yaitu pewarna alami berwarna kuning-oranye yang dapat digunakan untuk mewarnai es krim dan sejenisnya (50 mg/kg), atau lemak dan minyak makan (secukupnya).

Pemanis Buatan
Pemanis buatan sering ditambahkan ke dalam makanan dan minunan sebagai pengganti gula karena mempunyai kelebihan dibandingkan dengan pemanis alami (gula), yaitu:
•      Rasanya lebih manis
•      Membantu mempertajam penerimaan terhadap rasa manis
•      Tidak mengandung kalori atau mengandung kalori yang jauh lebih rendah sehingga cocok untuk penderita penyakit gula (diabetes)
•      Harganya lebih manis.

Pemanis buatan yang paling umum digunakan dalam pengolahan pangan di Indonesia adalah siklamat dan sakarin yang mempu­nyai tingkat kemanisan masing-masing 30-80 dan 300 kali gula alami, oleh karena itu sering disebut sebagai "biang gula". Penggunaan pemanis buatan dalam makanan diatur melalui peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/IX/88.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan sebenarnya siklamat dan sakarin hanya boleh digunakan dalam makanan yang khusus ditujukan untuk orang yang menderita diabetes atau sedang menjalani diet kalori. Amerika dan Jepang bahkan sudah melarang sama sekali penggunaan kedua pemanis tersebut karena terbukti berbahaya bagi kesehatan.

Di Indonesia, siklamat dan sakarin sangat mudah diperoleh dengan harga yang relatif murah. Hal ini mendorong produsen minuman ringan dan makanan jajanan untuk menggunakan kedua jenis pemanis buatan tersebut di dalam produknya. Penggunaan pemanis tersebut terutama didasari pada alasan ekonomi karena harga gula pasir yang cukup tinggi, sedangkan tingkat kemanisan pemanis buatan jauh lebih tinggi daripada gula sehingga penggunaannya cukup dalam jumlah sedikit, yang berarti mengurangi modal.

Batas maksimum penggunaan siklamat adalah 500 mg - 3 g/kg bahan, sedangkan batas maksimum penggunaan sakarin adalah 50 - 300 mg/kg bahan. Keduanya hanya boleh digunakan untuk makanan rendah kalori, dan dibatasi tingkat konsumsinya sebesar 0,5 mg/kg berat badan/hari. Jadi bila berat badan kita 50 kg, maka jumlah maksimum siklamat atau sakarin yang boleh dikonsumsi per hari adalah 50 x 0,5 mg atau 25 mg. Jika kita mengkonsumsi kue dengan kandungan siklamat 500 mg/kg bahan, maka dalam satu hari kita hanya boleh mengkonsumsi 25/500 x l kg atau 50 g kue.

Penggunaan pemanis buatan yang diizinkan dalain makanan adalah sebagai berikut:
Sakarin (dan garam natrium sakarin), untuk saus, es lilin, minuman ringan dan minuman yogurt berkalori rendah (300 mg/kg), es krim, es puter dan sejenisnya serta jem dan jeli berkalori rendah (200 mg/kg), permen berkalori rendah (100 mg/kg), serta permen karet dan minuman ringan fermentasi berkalori rendah (50 mg/kg).

• Siklamat (dan garam natrium dan kalsium siklamat), un­tuk saus, es lilin, minuman ringan dan minuman yogurt berkalori rendah (3 g/kg), es krim, es puter dan sejenisnya serta jem dan jeli berkalori rendah (2 g/kg), permen berkalori rendah (1 g/kg), dan minuman ringan fermentasi berkalori rendah (500 mg/kg).

• Sorbitol, untuk kismis (5 g/kg), jem, jeli dan roti (300 mg/kg), dan makanan lain (120 mg/kg).

• Aspartam.

Pengawet
Bahan pengawet umumnya digunakan untuk mengawetkan pangan yang mempunyai sifat mudah rusak. Bahan ini dapat menghambat atau memperlambat proses fermentasi, pengasaman atau peruraian yang disebabkan oleh mikroba. Tetapi tidak jarang produsen pangan menggunakannya pada makanan yang relatif awet dengan tujuan untuk memperpanjang masa simpan atau memperbaiki tekstur.

Pengawet yang banyak dijual di pasaran dan digunakan untuk mengawetkan berbagai makanan adalah benzoat, yang umumnya terdapat dalam bentuk natrium benzoat atau kalium benzoat yang bersifat lebih mudah larut. Benzoat sering digunakan untuk mengawetkan berbagai makanan dan minuman seperti sari buah, minuman ringan, saus tomat, saus sambal, jem dan jeli, manisan, kecap, dan lain-lain.

Penggunaan pengawet dalam makanan harus tepat, baik jenis rnaupun dosisnya. Suatu bahan pengawet mungkin efektif untuk mengawetkan makanan tertentu, tetapi tidak efektif untuk mengawetkan makanan lainnya karena makanan mempunyai sifat yang berbeda-beda sehingga mikroba perusak yang akan dihambat pertumbuhannya juga berbeda. Beberapa bahan pengawet yang umum digunakan dan jenis makanan serta batas penggunaannya pada makanan diantaranya adalah:

• Benzoat (dalam bentuk asam, atau garam kalium atau natrium benzoat), yaitu bahan yang digunakan untuk mengawetkan minuman ringan dan kecap (600 mg/kg), serta sari buah, saos tomat, saus sambal, jem dan jeli, manisan, agar, dan makanan lain (1 g/kg).

• Propionat (dalam bentuk asam, atau garam kalium atau natrium propionat), yaitu bahan pengawet untuk roti (2 g/kg) dan keju olahan (3 g/kg).

• Nitrit (dalam bentuk garam kalium/natrium nitrit) dan nitrat (dalam bentuk garam kalium/natrium nitrat), yaitu bahan pengawet untuk daging olahan atau yang diawetkan seperti sosis (125 mg nitrit/kg atau 500 mg nitrat/kg), korned dalam kaleng (50 mg nitrit/kg), atau keju (50 mg nitrat/kg).

• Sorbat (dalam bentuk garam kalium atau kalsium sorbat), yaitu bahan pengawet untuk margarin, pekatan sari buah, dan keju (1 g/k g).

• Sulfit (dalam bentuk garam kalium atau natrium bisulfit atau metabisulfit), yaitu bahan pengawet untuk potongan kentang goreng (50 mg/kg), udang beku (100 mg/kg), dan pekatan sari nenas (500 mg/kg).

Pada saat ini masih banyak ditemukan penggunaan            bahan pengawet yang dilarang namun digunakan dalam makanan dan berbahaya bagi kesehatan, misalnya boraks dan formalin. Boraks banyak digunakan dalam berbagai makanan seperti bakso, mie basah, pisang molen, lemper, buras, siomay, lontong, ketupat, dan pangsit. Selain bertujuan untuk mengawetkan juga dapat membuat makanan lebih kompak (kenyal) teksturnya dan memperbaiki penampakan. Akan tetapi boraks sangat berbahaya bagi kesehatan. Boraks bersifat sebagai antiseptik dan pembunuh kuman, oleh karena itu banyak digunakan sebagai anti jamur, bahan pengawet kayu, dan untuk bahan antiseptik pada kosmetik. Penggunaan boraks seringkali tidak disengaja karena tanpa diketahui terkandung di dalam bahan-bahan tambahan seperti pijer atau bleng yang sering digunakan dalam pembuatan bakso, mie basah, lontong dan ketupat.

Formalin juga banyak disalahgunakan untuk mengawetkan ma­kanan seperti tahu dan mie basah. Formalin sebenarnya meru­pakan bahan untuk mengawetkan mayat dan organ tubuh dan sangat berbahaya bagi kesehatan, oleh karena itu dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/IX/88 formalin meru­pakan salah satu bahan yang dilarang digunakan sebagai BTP.

Penyedap Rasa dan Aroma, Penguat Rasa
Salah satu penyedap rasa dan aroma yang dikenal luas di Indonesia adalah vetsin atau bumbu masak, dan terdapat banyak merek di pasaran.  Penyedap rasa mengandung senyawa yang disebut monosodium glutamat (MSG). Peranan asam glutamat sangat penting, diantaranya untuk merangsang dan menghantar sinyal-sinyal antar sel otak, dan dapat rnemberikan citarasa pada makanan. Dalam peraturan penggunaan MSG dibatasi secukupnya, yang berarti tidak boleh berlebihan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar